BAB I
PENDAHULUAN
Dalam belantara pengetahuan, sejarah
menempati posisi yang penting dan signifikan. Sejarah boleh dikatakan sebagai
mother of knowledge. Berangkat dari sejarah, pengetahuan dapat digali dan
dikaji dengan demi kebaikan peradaban pada era yang akan datang. Proses
memahami dalam kajian sejarah harus dibarengi pula dengan pendekatan dan
metodologi yang memadai, karena jika tidak demikian wajah sejarah tidak lagi
indah untuk dinikmati, tetapi sejarah berwajah garang karena akan diperas untuk
tendensi sebuah kelompok. Oleh karena itu, menempatkan sejarah sebagai ruang yang
bersih, objektif, dan bebas tendensi harus dilalui dengan pendekatan,
metodologi yang ilmiah, dan akademik, sehingga kebenarannya dapat
dipertanggung-jawabkan.
Salah satu kekayaan sejarah pada perdaban
masa lalu ialah tentang wali yang menyebarkan agama islam di tanah jawa yang
sering kita kenal dengan sebutan walisaga. Dan dalam makalah ini kami akan
membahas tentang biografi singkat salah satu wali yakni Sunan Giri. Kita
mengenal bagaimana sepak terjang beliau dalam berdakwah ditanah jawa hingga ekspansinya
kepelosok-pelosok nusantara. Makalah ini akan dibahas tentang siapa Sunan Giri?
Dimana beliau menuntut ilmu? Bagaimana ekspansi ajaran agama islam hingga ke
seluruh nusantara? dan lain-lain.
Kisah
penyebaran agama Islam di tanah jawa secara besar-besaran ini mengandung rasa
kekaguman semua pihak, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari kalangan
pemeluk agama lain. Persebaran islam ditanah jawa tidak lepas dari campur
tangan walisongo sehingga pada masa sekarang ini islam menguasai mayoritas penduduk.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH LAHIRNYA SUNAN GIRI
Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak
tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam. Setelah
bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di
daerah Blambangan (sekarang Banyuwangi). Ketika itu, masyarakat Blambangan
sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu,
ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya
raja mengumumkan sayembara siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila
laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat
sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di
tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa
sakti.
Dalam
pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti Resi Kandayana
namanya. Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu kalau Prabu Menak Sembuyu
dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat
Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh
keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan
dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi
seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan
sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus
orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa
jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali
ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu yang
sedang mengandung tujuh bulan agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi
laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak
Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah,
peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju
Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal
tersebut. Sejak itu bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu
diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan
di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena
kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah
bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum
Ibrahim (Sunan Bonang), diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi,
mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya,
Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah
Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya
mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan
yang diberikannya.
Sunan
Giri atau yang mempunyai nama lain Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra adalah nama salah seorang Wali Songo
yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di
Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala “Jalmo orek werdaning
ratu” (1365 Saka) atau 1442 M dan wafat pada tahun Saka Candra Sengkala “Sayu
Sirno Sucining Sukmo” (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan
Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan
Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad Al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi
Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad
Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
B. PENYEBARAN ISLAM SUNAN GIRI
Saat
mulai remaja diusianya yang 12 tahun, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya
untuk berguru ilmu agama kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) atas permintaannya
sendiri. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas
sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Sunan Ampel mengirimnya beserta
Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai sebelum
menunaikan keinginannya untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka diterima oleh
Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Di sinilah, Joko Samudra
mengetahui cerita mengenai jalan hidup masa kecilnya.
Setelah
tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden
'Ainul Yaqin diperintahkan gurunya yang tak lain adalah ayahnya sendiri itu
untuk kembali ke Jawa untuk mengembangkan ajaran islam di tanah Jawa. Dengan
berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahandanya sebagai contoh tempat
yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari dimana letak
tanah yang sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahnya.
Selama 40 hari 40 malam, Raden Paku bertafakur di
sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan
pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali
terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan
yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia
diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat
mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian
mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan
Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.
Namun,
tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini di daerah
perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam
Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di
sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan
agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter.
Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu
situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri.
Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru
Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina,
Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih,
karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak
mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang
didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara
berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula
menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya
dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak
pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs-- ingin
meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton
wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya,
Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah
menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah
menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478,
Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi
gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan,
pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga
dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan
ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun
dijadikan rujukan.
Menurut
Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa
itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate.
Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh
Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta
berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut,
kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau
khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan
Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada
1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri
memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah,
putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak
itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam
pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri
Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan
ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas
wilayahnya. Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh
Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai (Aceh). Ibunya
Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu.
C. HASIL PENYEBARAN ISLAM SUNAN GIRI
Kini,
jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih
membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya.
Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Beberapa
karya seni yang sering dihubungkan dengan Sunan Giri antara lain: permainan
anak tradisional jawa seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng. Kemudian
juga gending Asmaradana dan Pucung, seringkali dihubungkan dengan Sunan Giri.
BAB III
KESIMPULAN
Sunan
Giri memiliki nama asli Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri
lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya
Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah
dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi
Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad
Tanah Jawi). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik
Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal
mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan
Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana
Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah
merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti,
Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan
Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan, namun juga
sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan, karena itu Raja Majapahit memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Dalam
keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih.
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya
seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan
cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar